Tanggamus - Lensa Monitor. Pengelolaan Dana Desa dari tahun ketahun semakin berpolemik, selain tumpang tindih aturan yang tidak jelas, para oknum birokrasi juga diduga ikut bermain, demi keuntungan pribadi, Selasa (14/05/2024).
Hal tersebut sering dipertontonkan oleh ulah oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, khususnya di Kabupaten Tanggamus.
Tentu saja hal ini tidak selaras dengan semangat lahirnya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, sehingga tak dapat dipungkiri lagi, Pekonlah yang menjadi tumbalnya.
Dari proses pengadaan barang dan jasa di beberapa tahun terakhir ini, mulai dari pengadaan mesin sampah, yang konon mesinnya sudah menjadi sampah, dengan menelan biaya hampir 50 jutaan.
Pengadaan Sistem Informasi Desa dengan menelan biaya hampir 70 jutaan, yang juga sekarang nasibnya tak jauh beda dengan mesin sampah.
Belum lagi kegiatan pengadaan Peta Pekon, yang ditarik kembali untuk dibatalkan oleh Aparat Penegak Hukum, dan semua itu patut diduga ada permasalah serius.
Lanjut lagi dengan perihal pengadaan Aplikasi Literasi yang menelan biaya hampir 15 jutaan, info terkini Aparatur Pekon pun bingung untuk apa dan bagaimana proses penggunaannya.
Lain lubuk lain ikannya, lain tahun lain juga polanya, pribahasa ini dirasa tepat untuk menggambarkan kondisi Yang terjadi di Kabupaten Tanggamus, hal itu lantaran di tahun anggaran 2024 terendus aroma tidak sedap terkait Pengelolaan Dana Desa.
Pelatihan EHDW, yang dilaksanakan disetiap Pekon di Kabupaten Tanggamus menuai banyak pertanyaan, ini disebabkan karena adanya ketidak tepatan pola pelaksanaan hingga berpotensi merugikan keuangan Pekon.
Pola pelaksanaan sehari 4-5 pekon yang hanya memakan waktu 2 jam, dengan 3 narasumber, hal tersebut tentu sangat tidak efektif dan terkesan menghambur-hamburkan biaya yang sudah tentu menggunakan Dana Desa.
Untuk mengetahui kebenaran pengklasteran bimtek tersebut, awak media menyambangi ke kantor Dinas PMD kabupaten Tanggamus.
Menurut keterangan Aryanti, nara sumber bimtek yang berasal dari dinas PMD ketika dikonfirmasi mengatakan, pengklasteran bimtek tersebut dikarenakan masalah sinyal buruk.
"Yang kita gabung itu bang terkendala akibat sinyal buruk ketika penginputan", Ucap Aryanti.
"Kalau dua jam bimtek itu sifatnya hanya penyampaian secara umum tetapi pendamping nya sampai selesai sampai aplikasi tersebut Terinput di ompsam", Tambah Aryanti.
Ditempat terpisah, apa yang telah disampaikan oleh aryanti tersebut dikritisi oleh Singgih, selaku Korkab pendamping desa.
Dirinya mengatakan, dengan pola bimtek dengan narasumber tiga orang seperti itu tidak akan tercapai.
"Dasarnya hukumnya ada di PMK 146 pasal 15, disitu berbunyi sarat pencairan tahap kedua salah satunya adalah score card yang bunyinya dapat diambil dari aplikasi stunting dari kementerian terkait yakni Kemendes aplikasi nya EHDW," paparnya.
"Dari kemendes ada surat turunan ke desa-desa untuk mengimput EHDW kemudian ada surat lagi kemendes untuk ke kabupaten, lalu munculah surat untuk percepatan pengisian, sampai di situ kita clear mendukung itu," imbuhnya lagi.
Masih dalam keterangannya, "Tetapi bagaimana caranya pola dilapangan dengan target 299 Pekon ini bisa terisi, sementara pelatihnya hanya 3 orang, nah mungkin pola ini yang membuat menjadi riuh, ya karena dengan waktu yg singkat, mungkin tidak akan tercapai, sementara karena itu program nasional, pola ini tidak sama dengan kabupaten lain, jadi mungkin polanya saja yang kurang pas,"
Kemudian ia juga menambahkan lagi, "Terkait adanya informasi kegiatan yang di gabungkan dari bebagai pekon di kecamatan Air Naningan dan pulau panggung itu juga sebenarnya tidak boleh, karena untuk melakukan kegiatan bersama harus ada kepanitiaan yang ditunjuk, dalam hal ini adalah Lembaga Kerjasama Desa atau Lembaga Kerjasama Antar desa, yang sampai hari di Kabupaten Tanggamus belum terbentuk di Permendagrinya".
Tak hanya sebatas itu saja, singgihpun menjelaskan bahwa, kenapa pelatihan sadar hukum untuk dua tahun terakhir tidak diterapkan pola tersebut, karena untuk perihal pemberian honor para nara sumber itu disesuaikan dengan durasi jamnya.
Dirinya juga mengatakan belum pernah terlibat secara langsung di kegiatan EHDW dan tenaga ahli, yang pernah ia ikuti menjadi nara sumber dalam Training of Trainers (TOT).
"Saya belum pernah dilibatkan secara langsung, hanya waktu itu diinfokan bahwa, yang mewajibkan menjadi narsum adalah pernah mengikuti TOT," katanya.
"Dan untuk Surat Perintah Tugas (SPT) bagi Tenaga Ahli Pendamping desa, yang menjadi narsum dalam satu hari pertemuan di pekon, kami keluarkan SPT nya, namun jika dalam satu hari lebih dan banyak tumburan kami tidak keluarkan", Pungkas Singgih.
Perlu dipahami bahwa, seorang Tenaga Ahli pendamping desa untuk menjadi salah satu Narsum kegiatan EHDW di pekon, yang di klaster kegiatannya tidak memiliki SPT, hal ini tentunya menyalahi aturan, karena semua itu sebagai syarat untuk mendapatkan honor dari pekon.
Patut diketahui, jika dikalkulasi kan honor untuk Tenaga ahli pendamping desa, jika perdesa memberikan honor Rp 850.000 dikalikan 299 pekon maka hampir mencapai 250 juta, sungguh jumlah yang sangat fantastis.
Di kecamatan Talang Padang, salah satu aparatur pekon juga menyampaikan keresahannya terkait pelatihan EHDW ini.
"Gini lho bang, di Kecamatan Talang padang ini ada hampir 9 pekon yang tidak menganggarkan Pelatihan EHDW, jadi pada saat kami kumpul bersama salah satu pegawai dari PMD, yang kalau tidak salah salah satu nara sumber menyampaikan bahwa, kegiatan ini wajib dilaksanakan, jika tidak maka Dana Desa tahap ke 2 tidak bisa dicairkan,"
Masih dalam keteranganya, "Kami meminta kebijakan untuk dilaksanakan di tahap kedua tapi tidak boleh, lalu kami minta untuk 9 pekon untuk digabungkan, namun dijawab oleh salah seorang nara sumber, kalau tidak salah dari TA pendamping menyampaikan bahwa, tidak mau menjadi narasumber, jadi kami bingung bang,".
Akhirnya ibu dari PMD Kabupaten ini menyampaikan untuk ke 9 pekon di Kecamatan Talangpadang ini nanti terakhiran saja, setelah selesai pekon lain menganggarkan, tambah bingung kan bang?," Paparnya.
Setelah melihat penjelasan diatas, akhirnya masyarakatpun mengetahui, jika selama ini penyebab kebocoran dana desa banyak disebabkan untuk pembayaran honor kegiatan-kegiatan yang tidak jelas dan pengadaan barang yang merupakan titipan dari para oknum, yang bukan skala prioritas kebutuhan pekon. (Indra).